BAB I
PENDAHULUAN
1.
LATAR BELAKANG
Indonesia sejak tahun 1998 merupakan
era transisi dengan tumbuhnya proses demokrasi. Demokrasi juga telah memasuki
dunia pendidikan nasional antara lain dengan lahirnya Undang-Undang No 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam bidang pendidikan bukan lagi
merupakan tanggung jawab pemerintah pusat tetapi diserahkan kepada tanggung
jawab pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Undang – Undang No 32 tahun
2004 tentang Pemerintah Daerah, hanya beberapa fungsi saja yang tetap berada di
tangan pemerintah pusat. Perubahan dari sistem yang sentralisasi ke
desentralisasi akan membawa konsekuensi-konsekuensi yang jauh di dalam
penyelenggaraan pendidikan nasional.
Selain
perubahan dari sentralisasi ke desentralisasi yang membawa banyak perubahan
juga bagaimana untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia dalam menghadapi
persaingan bebas abad ke-21. Kebutuhan ini ditampung dalam Undang-Undang No. 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta pentingnya tenaga guru dan dosen
sebagai ujung tombak dari reformasi pendidikan nasional.
Sistem
Pendidikan Nasional Era Reformasi yang diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun
2003 diuraikan dalam indikator-indikator akan keberhasilan atau kegagalannya,
maka lahirlah Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan yang kemudian dijelaskan dalam Permendiknas RI.
Di
dalam masyarakat Indonesia dewasa ini muncul banyak kritikan baik dari praktisi
pendidikan maupun dari kalangan pengamat pendidikan mengenai pendidikan
nasional yang tidak mempunyai arah yang jelas. Dunia pendidikan sekarang ini
bukan merupakan pemersatu bangsa tetapi merupakan suatu ajang pertikaian dan
persemaian manusia-manusiaa yang berdiri sendiri dalam arti yang sempit,
mementingkan diri dan kelompok. Maka dari itu perlu kiranya kami bahas tentang
kualitas pendidikan dan upaya-upaya peningkatan Kualitas pendidikan.
Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukan pribadi
manusia. Pendidikan sangat berperan dalam membentuk baik atau buruknya pribadi
manusia menurut ukuran normatif. Menyadari akan hal tersebut, pemerintah sangat
serius menangani bidang pendidikan, sebab dengan sistem pendidikan yang baik
diharapkan muncul generasi penerus bangsa yang berkualitas dan mampu
menyesuaikan diri untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Reformasi pendidikan merupakan respon terhadap perkembangan
tuntutan global sebagai suatu upaya untuk mengadaptasikan sistem pendidikan yang
mampu mengembangkan sumber daya manusia untuk memenuhi tuntutan zaman yang
sedang berkembang. Melalui reformasi pendidikan, pendidikan harus berwawasan
masa depan yang memberikan jaminan bagi perwujudan hak-hak azasi manusia untuk
mengembangkan seluruh potensi dan prestasinya secara optimal guna kesejahteraan
hidup di masa depan.
Seiring perkembangan zaman yang sangat cepat dan modern
membuat dunia pendidikan semakin penuh dengan dinamika. Di Indonesia sendiri
dinamika itu tampak dari tidak henti-hentinya sejumlah masalah yang melingkupi
dunia pendidikan
Merosotnya mutu pendidikan di Indonesia secara umum dan mutu
pendidikan tinggi secara sfesifik dilihat dari persfektif makro dapat
disebabkan oleh buruknya sistem pendidikan nasional dan rendahnya sumber daya
manusia (Hadis dan Nurhayati, 2010:2). Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu
usaha pengembangan sumber daya manusia (SDM), walaupun usaha pengembangan SDM
tidak hanya dilakukan melalui pendidikan khususnya pendidikan formal ( sekolah
). Tetapi sampai detik ini, pendidikan masih dipandang sebagai sarana dan
wahana utama untuk pengembangan SDM yang dilakukan dengan sistematis,
programatis, dan berjenjang.
Kemajuan pendidikan dapat dilihat dari kemampuan dan kemauan
dari masyarakat untuk menangkap proses informatisasi dan kemajuan teknologi.
Karena Proses informatisasi yang cepat karena kemajuan teknologi semakin
membuat horizon kehidupan didunia semakin meluas dan sekaligus semakin
mengerut. Hal ini berarti berbagai masalah kehidupan manusia menjadi masalah
global atau setidak-tidaknya tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kejadian
dibelahan bumi yang lain, baik masalah politik, ekonomi , maupun sosial.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa
perubahan di hampir semua aspek kehidupan manusia dimana berbagai permasalahan
hanya dapat dipecahkan kecuali dengan upaya penguasaan dan peningkatan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Selain manfaat bagi kehidupan manusia di
satu sisi perubahan tersebut juga telah membawa manusia ke dalam era persaingan
global yang semakin ketat. Agar mampu berperan dalam persaingan global, maka
sebagai bangsa kita perlu terus mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber
daya manusianya. Oleh karena itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia
merupakan kenyataan yang harus dilakukan secara terencana, terarah, intensif,
efektif dan efisien dalam proses pembangunan, kalau tidak ingin bangsa ini
kalah bersaing dalam menjalani era globalisasi tersebut.
Berbicara mengenai kualitas sumber daya manusia, pendidikan
memegang peran yang sangat penting dalam proses peningkatan kualitas sumber
daya manusia. Peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu proses
yang terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itu
sendiri. Menyadari pentingnya proses peningkatan kualitas sumber daya manusia,
maka pemerintah bersama kalangan swasta sama-sama telah dan terus berupaya mewujudkan
amanat tersebut melalui berbagai usaha pembangunan pendidikan yang lebih
berkualitas antara lain melalui pengembangan dan perbaikan kurikulum dan sistem
evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi ajar,
serta pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya. Tetapi pada
kenyataannya upaya pemerintah tersebut belum cukup berarti dalam meningkatkan
kuailtas pendidikan. Salah satu indikator kekurang berhasilan ini ditunjukkan
antara lain dengan NEM siswa untuk berbagai bidang studi pada jenjang SLTP dan
SLTA yang tidak memperlihatkan kenaikan yang berarti bahkan boleh dikatakan
konstan dari tahun ke tahun, kecuali pada beberapa sekolah dengan jumlah yang
relatif sangat kecil.
Ada dua faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya
perbaikan mutu pendidikan selama ini kurang atau tidak berhasil,yaitu :
Ø strategi pembangunan pendidikan
selama ini lebih bersifat input oriented. Strategi yang demikian lebih
bersandar kepada asumsi bahwa bilamana semua input pendidikan telah dipenuhi,
seperti penyediaan buku-buku (materi ajar) dan alat belajar lainnya, penyediaan
sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya, maka secara
otomatis lembaga pendidikan ( sekolah) akan dapat menghasilkan output
(keluaran) yang bermutu sebagai mana yang diharapkan. Ternyata strategi
input-output yang diperkenalkan oleh teori education production function
(Hanushek, 1979,1981) tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga pendidikan
(sekolah), melainkan hanya terjadi dalam institusi ekonomi dan industri.
Ø pengelolaan pendidikan selama ini
lebih bersifat macro-oriented, diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat
pusat. Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro (pusat)
tidak terjadi atau tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro
(sekolah). Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa komleksitasnya cakupan
permasalahan pendidikan, seringkali tidak dapat terpikirkan secara utuh dan
akurat oleh birokrasi pusat.
Diskusi tersebut memberikan pemahaman kepada kita bahwa
pembangunan pendidikan bukan hanya terfokus pada penyediaan faktor input
pendidikan tetapi juga harus lebih memperhatikan faktor proses
pendidikan..Input pendidikan merupakan hal yang mutlak harus ada dalam batas -
batas tertentu tetapi tidak menjadi jaminan dapat secara otomatis meningkatkan
mutu pendidikan (school resources are necessary but not sufficient condition
to improve student achievement). Disamping itu mengingat sekolah sebagai
unit pelaksana pendidikan formal terdepan dengan berbagai keragaman potensi
anak didik yang memerlukan layanan pendidikan yang beragam, kondisi lingkungan
yang berbeda satu dengan lainnya, maka sekolah harus dinamis dan kreatif dalam
melaksanakan perannya untuk mengupayakan peningkatan kualitas/mutu pendidikan.
hal ini akan dapat dilaksanakan jika sekolah dengan berbagai keragamannya itu,
diberikan kepercayaan untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri sesuai dengan
kondisi lingkungan dan kebutuhan anak didiknya. Walaupun demikian, agar mutu
tetap terjaga dan agar proses peningkatan mutu tetap terkontrol, maka harus ada
standar yang diatur dan disepakati secara secara nasional untuk dijadikan
indikator evaluasi keberhasilan peningkatan mutu tersebut (adanya benchmarking).
Pemikiran ini telah mendorong munculnya pendekatan baru, yakni pengelolaan
peningkatan mutu pendidikan di masa mendatang harus berbasis sekolah sebagai
institusi paling depan dalam kegiatan pendidikan. Pendekatan ini, kemudian
dikenal dengan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah
(School Based Quality Management) atau dalam nuansa yang lebih bersifat
pembangunan (developmental) disebut School Based Quality Improvement.
Konsep yang menawarkan kerjasama yang erat antara sekolah,
masyarakat dan pemerintah dengan tanggung jawabnya masing - masing ini,
berkembang didasarkan kepada suatu keinginan pemberian kemandirian kepada
sekolah untuk ikut terlibat secara aktif dan dinamis dalam rangka proses
peningkatan kualitas pendidikan melalui pengelolaan sumber daya sekolah yang
ada. Sekolah harus mampu menterjemahkan dan menangkap esensi kebijakan makro
pendidikan serta memahami kindisi lingkunganya (kelebihan dan kekurangannya)
untuk kemudian melaui proses perencanaan, sekolah harus memformulasikannya ke
dalam kebijakan mikro dalam bentuk program - program prioritas yang harus
dilaksanakan dan dievaluasi oleh sekolah yang bersangkutan sesuai dengan visi
dan misinya masing - masing. Sekolah harus menentukan target mutu untuk tahun
berikutnya. Dengan demikian sekolah secara mendiri tetapi masih dalam kerangka
acuan kebijakan nasional dan ditunjang dengan penyediaan input yang memadai,
memiliki tanggung jawab terhadap pengembangan sumber daya yang dimilikinya
sesuai dengan kebutuhan belajar siswa dan masyarakat.
2.
RUMUSAN MASALAH
A.
Apakah yang dimaksud dengan mutu?
B. Apa
pengertian dari kualitas pendidikan?
C. Apa
standar dan parameter pendidikan yang berkualitas?
D. Bagaimana upaya peningkatan mutu
kualitas pendidikan ?
E. Faktor-faktor apa yang menjadi penyebab rendahnya mutu pendidikan di sekolah?
F. Apa yang menjadi Tantangan upaya Peningkatan Mutu pendidikan di sekolah?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
HAKEKAT MUTU
Menurut Crosby (dalam Hadis dan Nurhayati, 2010:85) mutu
ialah conformance to requirement, yaitu sesuai yang diisyaratkan atau
distandarkan. Suatu produk memiliki mutu apabila sesuai dengan standar yang
telah ditentukan, standar mutu tersebut meliputi bahan baku, proses produksi,
dan produk jadi (Crosby, dalam Hadis dan Nurhayati, 2010:85).
Menurut Deming (dalam Hadis dan Nurhayati, 2010:85) mutu
ialah kesesuain dengan kebutuhan pasar atau konsumen.
Mutu ialah suatu kondidim dinamik yang berhubungan dengan
produk, tenaga kerja, proses dan tugas serta lingkungan yang memenuhi atau
melebihi harapan pelanggan. Dengan perubahan mutu tersebut, diperlukan
peningkatan atau perubahan keterampilan tenaga kerja, proses produksi dan
tugas, serta perubahan lingkungan perusahaan agar produk dapat memenuhi dan
melebihi harapan konsumen (Garvi dan Davis, dalam Hadis dan Nurhayati,
2010:86).
Dalam pandangan Zamroni ( 2007:2 ) dikatakan bahwa
peningkatan mutu sekolah adalah suatu proses yang sistematis yang terus menerus
meningkatkan kualitas proses belajar mengajar dan faktor-faktor yang berkaitan
dengan itu, dengan tujuan agar menjadi target sekolah dapat dicapai dengan
lebih efektif dan efisien.
Bervariasinya kebutuhan siswa akan belajar, beragamnya
kebutuhan guru dan staf lain dalam pengembangan profesionalnya, berbedanya
lingkungan sekolah satu dengan lainnya dan ditambah dengan harapan orang
tua/masyarakat akan pendidikan yang bermutu bagi anak dan tuntutan dunia usaha
untuk memperoleh tenaga bermutu, berdampak kepada keharusan bagi setiap
individu terutama pimpinan kelompok harus mampu merespon dan mengapresiasikan
kondisi tersebut di dalam proses pengambilan keputusan. Ini memberi keyakinan
bahwa di dalam proses pengambilan keputusan untuk peningkatan mutu pendidikan
mungkin dapat dipergunakan berbagai teori, perspektif dan kerangka acuan (framework)
dengan melibatkan berbagai kelompok masyarakat terutama yang memiliki
kepedulian kepada pendidikan. Karena sekolah berada pada pada bagian terdepan
dari pada proses pendidikan, maka diskusi ini memberi konsekwensi bahwa sekolah
harus menjadi bagian utama di dalam proses pembuatan keputusan dalam rangka
peningkatan mutu pendidikan. Sementara, masyarakat dituntut partisipasinya agar
lebih memahami pendidikan, sedangkan pemerintah pusat berperan sebagai
pendukung dalam hal menentukan kerangka dasar kebijakan pendidikan.
Strategi ini berbeda dengan konsep mengenai pengelolaan
sekolah yang selama ini kita kenal. Dalam sistem lama, birokrasi pusat sangat
mendominasi proses pengambilan atau pembuatan keputusan pendidikan, yang bukan
hanya kebijakan bersifat makro saja tetapi lebih jauh kepada hal-hal yang
bersifat mikro; Sementara sekolah cenderung hanya melaksanakan
kebijakan-kebijakan tersebut yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan belajar
siswa, lingkungan Sekolah, dan harapan orang tua. Pengalaman menunjukkan bahwa
sistem lama seringkali menimbulkan kontradiksi antara apa yang menjadi
kebutuhan sekolah dengan kebijakan yang harus dilaksanakan di dalam proses
peningkatan mutu pendidikan. Fenomena pemberian kemandirian kepada sekolah ini
memperlihatkan suatu perubahan cara berpikir dari yang bersifat rasional,
normatif dan pendekatan preskriptif di dalam pengambilan keputusan pandidikan
kepada suatu kesadaran akan kompleksnya pengambilan keputusan di dalam sistem
pendidikan dan organisasi yang mungkin tidak dapat diapresiasiakan secara utuh
oleh birokrat pusat. Hal inilah yang kemudian mendorong munculnya pemikiran
untuk beralih kepada konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah sebagai
pendekatan baru di Indonesia, yang merupakan bagian dari desentralisasi
pendidikan yang tengah dikembangkan.
Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah merupakan
alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada
kemandirian dan kreatifitas sekolah. Konsep ini diperkenalkan oleh teori effective
school yang lebih memfokuskan diri pada perbaikan proses pendidikan
(Edmond, 1979). Beberapa indikator yang menunjukkan karakter dari konsep
manajemen ini antara lain sebagai berikut;
i.
lingkungan sekolah yang aman dan tertib,
ii.
sekolah memilki misi dan target mutu yang ingin dicapai,
iii.
sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat,
iv.
adanya harapan yang tinggi dari personel sekolah (kepala
sekolah, guru,dan staf lainnya termasuk siswa) untuk berprestasi,
v.
adanya pengembangan staf sekolah yang terus menerus sesuai
tuntutan IPTEK,
vi.
adanya pelaksanaan evaluasi yang terus menerus terhadap
berbagai aspek akademik dan administratif, dan pemanfaatan hasilnya untuk
penyempurnaan/perbaikan mutu, dan
vii.
adanya komunikasi dan dukungan intensif dari orang tua
murid/masyarakat.
Pengembangan konsep
manajemen ini didesain untuk meningkatkan kemampuan sekolah dan masyarakat
dalam mengelola perubahan pendidikan kaitannya dengan tujuan keseluruhan,
kebijakan, strategi perencanaan, inisiatif kurikulum yang telah ditentukan oleh
pemerintah dan otoritas pendidikan. Pendidikan ini menuntut adanya perubahan
sikap dan tingkah laku seluruh komponen sekolah; kepala sekolah, guru dan
tenaga/staf administrasi termasuk orang tua dan masyarakat dalam memandang,
memahami, membantu sekaligus sebagai pemantau yang melaksanakan monitoring dan
evaluasi dalam pengelolaan sekolah yang bersangkutan dengan didukung oleh
pengelolaan sistem informasi yang presentatif dan valid. Akhir dari semua itu
ditujukan kepada keberhasilan sekolah untuk menyiapkan pendidikan yang
berkualitas/bermutu bagi masyarakat.
Dalam pengimplementasian konsep ini, sekolah memiliki
tanggung jawab untuk mengelola dirinya berkaitan dengan permasalahan
administrasi, keuangan dan fungsi setiap personel sekolah di dalam kerangka
arah dan kebijakan yang telah dirumuskan oleh pemerintah. Bersama - sama dengan
orang tua dan masyarakat, sekolah harus membuat keputusan, mengatur skala
prioritas disamping harus menyediakan lingkungan kerja yang lebih profesional
bagi guru, dan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan serta keyakinan
masyarakat tentang sekolah/pendidikan. Kepala sekolah harus tampil sebagai
koordinator dari sejumlah orang yang mewakili berbagai kelompok yang berbeda di
dalam masyarakat sekolah dan secara profesional harus terlibat dalam setiap
proses perubahan di sekolah melalui penerapan prinsip-prinsip pengelolaan
kualitas total dengan menciptakan kompetisi dan penghargaan di dalam sekolah
itu sendiri maupun sekolah lain. Ada empat hal yang terkait dengan prinsip -
prinsip pengelolaan kualitas total yaitu;
v perhatian harus ditekankan kepada
proses dengan terus - menerus mengumandangkan peningkatan mutu,
v kualitas/mutu harus ditentukan oleh
pengguna jasa sekolah,
v prestasi harus diperoleh melalui
pemahaman visi bukan dengan pemaksaan aturan,
v sekolah harus menghasilkan siswa
yang memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap arief bijaksana, karakter,
dan memiliki kematangan emosional.
Sistem kompetisi tersebut akan mendorong sekolah untuk terus
meningkatkan diri, sedangkan penghargaan akan dapat memberikan motivasi dan
meningkatkan kepercayaan diri setiap personel sekolah, khususnya siswa. Jadi
sekolah harus mengontrol semua semberdaya termasuk sumber daya manusia yang
ada, dan lebih lanjut harus menggunakan secara lebih efisien sumber daya
tersebut untuk hal - hal yang bermanfaat bagi peningkatan mutu khususnya.
Sementara itu, kebijakan makro yang dirumuskan oleh pemerintah atau otoritas
pendidikan lainnya masih diperlukan dalam rangka menjamin tujuan - tujuan yang
bersifat nasional dan akuntabilitas yang berlingkup nasional.
Dalam rangka umum mutu mengandung makna derajat (tingkat)
keunggulan suatu produk (hasil kerja/upaya) baik berupa barang maupun jasa;
baik yang tangible maupun yang intangible. Dalam konteks
pendidikan pengertian mutu, dalam hal ini mengacu pada proses pendidikan dan
hasil pendidikan. Dalam "proses pendidikan" yang
bermutu terlibat berbagai input, seperti; bahan ajar (kognitif, afektif, atau
psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah,
dukungan administrasi dan sarana prasarana dan sumber daya lainnya serta
penciptaan suasana yang kondusif. Manajemen sekolah, dukungan kelas berfungsi
mensinkronkan berbagai input tersebut atau mensinergikan semua komponen dalam
interaksi (proses) belajar mengajar baik antara guru, siswa dan sarana
pendukung di kelas maupun di luar kelas; baik konteks kurikuler maupun
ekstra-kurikuler, baik dalam lingkup subtansi yang akademis maupun yang
non-akademis dalam suasana yang mendukung proses pembelajaran. Mutu dalam
konteks "hasil pendidikan" mengacu pada prestasi yang dicapai oleh
sekolah pada setiap kurun waktu tertentu (apakah tiap akhir cawu, akhir tahun,
2 tahun atau 5 tahun, bahkan 10 tahun). Prestasi yang dicapai atau hasil
pendidikan (student achievement) dapat berupa hasil test kemampuan akademis
(misalnya ulangan umum, Ebta atau Ebtanas). Dapat pula prestasi di bidang lain
seperti prestasi di suatu cabang olah raga, seni atau keterampilan tambahan
tertentu misalnya : komputer, beragam jenis teknik, jasa. Bahkan prestasi
sekolah dapat berupa kondisi yang tidak dapat dipegang (intangible) seperti
suasana disiplin, keakraban, saling menghormati, kebersihan, dsb.
Antara proses dan hasil pendidikan yang
bermutu saling berhubungan. Akan tetapi agar proses yang baik itu tidak salah
arah, maka mutu dalam artian hasil (ouput) harus dirumuskan lebih dahulu
oleh sekolah, dan harus jelas target yang akan dicapai untuk setiap
tahun atau kurun waktu lainnya. Berbagai input dan proses harus selalu mengacu
pada mutu-hasil (output) yang ingin dicapai. Dengan kata lain tanggung jawab
sekolah dalam school based quality improvement bukan hanya pada proses,
tetapi tanggung jawab akhirnya adalah pada hasil yang dicapai . Untuk
mengetahui hasil/prestasi yang dicapai oleh sekolah ' terutama yang menyangkut
aspek kemampuan akademik atau "kognitif" dapat dilakukan benchmarking
(menggunakan titik acuan standar, misalnya :NEM oleh PKG atau MGMP).
Evaluasi terhadap seluruh hasil pendidikan pada tiap sekolah baik yang sudah
ada patokannya (benchmarking) maupun yang lain (kegiatan ekstra-kurikuler)
dilakukan oleh individu sekolah sebagai evaluasi diri dan dimanfaatkan
untuk memperbaiki target mutu dan proses pendidikan tahun berikutnya. Dalam hal
ini RAPBS harus merupakan penjabaran dari target mutu yang ingin dicapai dan
skenario bagaimana mencapainya.
2.
PENGERTIAN KUALITAS PENDIDIKAN
3. STANDAR ATAU PARAMETER PENDIDIKAN YANG BERKUALITAS
4. UPAYA UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PENDIDIKAN
Untuk meningkatkan mutu pendidikan kita perlu
melihat dari banyak sisi. Telah banyak pakar pendidikan mengemukakan
pendapatnya tentang faktor penyebab dan solusi mengatasi kemerosotan mutu
pendidikan di lndonesia. Dengan masukan ilmiah ahli itu, pemerintah tak berdiam
diri sehingga tujuan pendidikan nasional tercapai.
Masukan ilmiah
yang disampaikan para ahli dari negara-negara yang berhasil menerapkannya,
seperti Amerika Serikat, Australia, Kanada, Selandia Baru dan Singapura selalu
memunculkan konsep yang tidak selalu bisa diadopsi dan diadaptasi. Karena
berbagai macam latar yang berbeda. Situasi, kondisi, latar budaya dan pola
pikir bangsa kita tentunya tidak homogen dengan negara-negara yang diteladani.
Malahan, konsep yang di impor itu terkesan dijadikan sebagai “proyek” yang
bertendensi pada kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Artinya, proyek
bukan sebagai alat melainkan sebagai tujuan.
Beberapa
penerapan pola peningkatan mutu di Indonesia telah banyak dilakukan, namun
masih belum dapat secara langsung memberikan efek perbaikan mutu. Di antaranya
adalah usaha peningkatan mutu dengan perubahan kurikulum dan proyek peningkatan
lain; Proyek Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), Proyek
Perpustakaan, Proyek Bantuan Meningkatkan Manajemen Mutu (BOMM), Proyek Bantuan
lmbal Swadaya (BIS), Proyek Pengadaan Buku Paket, Proyek Peningkatan Mutu Guru,
Dana Bantuan Langsung (DBL), Bantuan Operasioanal Sekolah (BOS) dan Bantuan
Khusus Murid (BKM). Dengan memperhatikan sejumlah proyek itu, dapatlah kita
simpulkan bahwa pemerintah telah banyak menghabiskan anggaran dana untuk
membiayai proyek itu sebagai upaya .
meningkatkan mutu pendidikan
Upaya
pemerintah yang begitu mahal belum menunjukkan hasil menggembirakan. Ada yang
berpendapat mungkin manajemennya yang kurang tepat dan ada pula yang mengatakan
bahwa pemerintah kurang konsisten dengan upaya yang dijalankan. Karena itu,
kembali pada apa yang kita sebut sebagai kekayaan lokal, bahwa tidak sepenuhnya
apa yang dapat dipraktikkan dengan baik di luar negeri bisa seratus persen juga
berhasil di Indonesia, semua itu membutuhkan tahapan, namun dengan kerangka
yang jelas dan tidak dibebani oleh proyek yang demi kepentingan sesaat atau
golongan. Hal-hal berikut adalah elemen dasar bagaimana kita dapat meningkatkan
mutu pendidikan di Indonesia.
Insan Pendidikan Patut Mendapatkan
Penghargaan Karenaitu Berikanlah Penghargaan
“Manajemen
Sumber Daya Manusia” mengatakan, penghargaan diberikan untuk menarik dan
mempertahankan SDM karena diperlukan untuk mencapai saran-saran organisasi.
Staf (guru) akan termotivasi jika diberikan penghargaan ekstrinsik (gaji,
tunjangan, bonus dan komisi) maupun penghargaan instrinsik (pujian, tantangan,
pengakuan, tanggung jawab, kesempatan dan pengembangan karir). Mc. Keena &
Beech (1995 : 161).
Manusia
mempunyai sejumlah kebutuhan yang memiliki lima tingkatan (hierarchy of needs)
yakni, mulai dari kebutuhan fisiologis (pangan, sandang dan papan), kebutuhan
rasa aman ( terhindar dari rasa takut akan gangguan keamanan), kebutuhan sosial
(bermasyarakat), kebutuhan yang mencerminkan harga diri, dan kebutuhan
mengaktualisasikan diri di tengah masyarakat. Abraham H. Maslow
Pendidik dan
pengajar sebagai manusia yang diharapkan sebagai ujung tombak meningkatkan mutu
berhasrat mengangkat harkat dan martabatnya. Jasanya yang besar dalam dunia
pendidikan pantas untuk mendapatkan penghargaan intrinsik dan ekstrinsik agar
tidak termarjinalkan dalam kehidupan masyarakat.
Meningkatkan Profesionalisme Guru dan
Pendidik
Kurikulum dan
panduan manajemen sekolah sebaik apapun tidak akan berarti jika tidak ditangani
oleh guru profesional. Karena itu tuntutan terhadap profesinalisme guru yang
sering dilontarkan masyarakat dunia usaha/industri, legislatif, dan pemerintah
adalah hal yang wajar untuk disikapi secara arif dan bijaksana.
Konsep tentang guru profesional ini selalu dikaitkan dengan pengetahuan
tentang wawasan dan kebijakan pendidikan, teori belajar dan pembelajaran,
penelitian pendidikan (tindakan kelas), evaluasi pembelajaran, kepemimpinan
pendidikan, manajemen pengelolaan kelas/sekolah, serta tekhnologi informasi dan
komunikasi. Sebagian besar tentang indikator itu sudah diperoleh di LPTK antara
lain IKIP, FKIP, dan STKIP non-refreshing.
Fenomena
menunjukkan bahwa kualitas profesionalisme guru kita masih rendah.
Faktor-faktor internal seperti penghasilan guru yang belum mampu memenuhi
kebutuhan fisiologis dan profesi masih dianggap sebagai faktor determinan.
Akibatnya, upaya untuk menambah pengetahuan dan wawasan menjadi terhambat
karena ketidakmampuan guru secara financial dalam pengembangan SDM melalui
peningkatan jenjang pendidikan.
Hal itu juga
telah disadari pemerintah sehingga program pelatihan mutlak diperlukan karena
terbatasnya anggaran untuk meningkatkan pendidikan guru. Program pelatihan ini
dimaksudkan untuk menghasilkan guru sebagai tenaga yang terampil (skill labour)
atau dengan istilah lain guru yang memiliki kompetensi.
UU Sisdiknas
No. 20/2003 Pasal 42 ayat (1) menyebutkan pendidik harus memiliki kualifikasi
minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat
jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional. Uraian pasal 42 itu cukup jelas bahwa untuk menjadi guru sebagai
tahapan awal harus memenuhi persyaratan kualifikasi minimal (latar belakang
pendidikan keguruan/umum dan memiliki akta mengajar). Setelah guru memenuhi
persyaratan kualifikasi, maka guru akan dan sedang berada pada tahapan
kompetensi. Namun, fenomena menunjukkan bahwa pendidik di sekolah masih banyak
yang tidak memenuhi persyaratan tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa
lapangan pekerjaan guru sangat mudah untuk dimasuki oleh siapa saja.
Sebisa Mungkin Kurangi dan Berantas Korupsi
Menurut laporan
BPK tahun 2003 lalu, Depdiknas merupakan lembaga pemerintah terkorup kedua
setelah Departemen Agama. Kemudian Laporan ICW menyebutkan bahwa korupsi dalam
dunia pendidikan dilakukan secara bersama-sama (Amin Rais menyebutnya korupsi
berjamaah) dalam berbagai jenjang mulai tingkat sekolah, dinas, sampai
departemen. Pelakunya mulai dari guru, kepala sekolah, kepala dinas, dan
seterusnya masuk dalam jaringan korupsi. Sekolah yang diharapkan menjadi
benteng pertahanan yang menjunjung nilai-nilai kejujuran justru mempertotonkan
praktik korupsi kepada peserta didik.
Korupsi itu
berhubungan dengan dana yang berasal dari pemerintah dan dana yang langsung
ditarik dari masyarakat. Jika selama ini anggaran pendidikan yang sangat minim
dikeluhkan, ternyata dana yang kecil itupun tak luput dari korupsi. Hal ini
tidak terlepas dar kekaburan sistem anggaran sekolah. Kekaburan dalam sistem
anggaran (RAPBS) itu memungkinkan kepala sekolah mempraktikkan Pembiayaan
Sistem Ganda (PSG). Misalnya dana operasional pembelian barang yang telah
dianggarkan dari dana pemerintah dibebankan lagi kepada masyarakat.
Semakin
terpuruknya peringkat SDM Indonesia pada tahun 2004, tak perlu hanya kita
sesali, melainkan menjadikannya sebagai motivasi untuk bangkit dari
keterpurukan. Jika kondisi itu mau diubah mulailah dari menerapkan konsep yang
berpijak pada akar masalah.
Berikan Sarana dan Prasarana Yang Layak
Dengan
diberlakukannya kurikulum 2004 (KBK), kini guru lebih dituntut untuk
mengkontekstualkan pembelajarannya dengan dunia nyata, atau minimal siswa
mendapat gambaran miniatur tentang dunia nyata. Harapan itu tidak mungkin
tercapai tanpa bantuan alat-alat pembelajaran (sarana dan prasarana
pendidikan).
Menurut
Kepmendikbud No. 053/U/2001 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM), sekolah
harus memiliki persyaratan minimal untuk menyelenggarakan pendidikan dengan
serba lengkap dan cukup seperti, luas lahan, perabot lengkap,
peralatan/laboratorium/media, infrastruktur, sarana olahraga, dan buku rasio
1:2. Kehadiran Kepmendiknas itu dirasakan sangat tepat karena dengan keputusan
ini diharapkan penyelenggaraan pendidikan di sekolah tidak “kebablasan cepat”
atau “keterlaluan tertinggal” di bawah persyaratan minimal sehingga kualitas
pendidikan menjadi semakin terpuruk.
Selanjutnya, UU
Sisdiknas No. 20/2003 pasal 45 ayat (1) berbunyi, setiap satuan pendidikan
menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai
dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual,
sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik. Jika kita lihat kenyataan di
lapangan bahwa hanya sekolah-sekolah tertentu di beberapa kota di Indonesia
saja yang memenuhi persyaratan SPM, umumnya sekolah negeri dan swasta favorit.
Berdasarkan fakta ini, keterbatasan sarana dan prasarana pada sekolah-sekolah
tertentu, pengadaannya selalu dibebankan kepada masyarakat. Alasannya pun telah
dilegalkan berdasarkan Kepmendiknas No. 044/U/2002 dan UU Sisdiknas No. 20/2003
pasal 56
·
ayat (1). Dalam peningkatan
mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan dan evaluasi
program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah,
·
ayat (2) Dewan pendidikan,
sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam meningkatkan mutu pelayanan
pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana
dan prasarana, serta pengawasan pendidikan ditingkat nasional, provinsi dan
kabupaten/ kota yang tidak mempunyai hubungan hierarkis, dan ayat
·
(3) Komite sekolah/madrasah sebagai lembaga
mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dan memberikan
pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana serta pengawasan
pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.
Menyikapi
keadaan yang demikian sulit, apalagi kondisi negara yang kian kritis, solusi
yang ditawarkan adalah manfaatkan seluruh potensi sumber daya sekolah dan
masyarkat sekitar, termasuk memberdayakan dewan pendidikan dan komite sekolah.
Mudah-mudahan dengan sistem anggaran pendidikan yang mengacu pada UU Sisdiknas
No. 20/2003 pasal 46 dan 49 permasalahan ini dapat diatasi dengan membangun
kebersamaan dan kepercayaan antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah.
Dengan
melandaskan pada cita-cita luhur pendidikan, diharapkan mutu pendidikan
Indonesia terus meningkat dan terjadi perkembangan pada perbaikan yang
terus menerus.
Pendidikan
merupakan hal penting. dan akan terus berkembang seiring berjalannya zaman dan
di Indonesia agak sulit mengimbangi perkembangan itu, karena di indonesia mutu
pendidikannya pun masih tergolong rendah. Bagaimana bisa mengikuti perkembangan
jika yang belum berkembang saja mutu pendidikan kita masih rendah. Berbagai
upaya pun di lakukan oleh pemerintah indonesia untuk menyelesaikan permasalahan
ini, beberapa tenaga ahli di libatkan untuk menyelesaikan masalah.
Beberapa
penerapan pola peningkatan mutu di Indonesia telah banyak dilakukan, akan
tetapi masih belum dapat secara langsung memberikan efek perbaikan mutu
tersebut. Beberapa upaya sudah dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan
mutu pendidikan, salah satu upayanya adalah dengan merubah atau memperbaiki
kurikulum dan beberapa proyek peningkatan, diantaranya :
§ proyek MPMBS (Manajemen Peningkatan
Mutu Berbasis Sekolah),
§ Proyek Perpustakaan,
§ Proyek BOMM (Proyek Bantuan
Meningkatkan Manajemen Mutu),
§ Proyek BIS (Bantuan Imbal Swadaya),
§ Proyek Peningkatan Mutu Guru,
§ Proyek Pengadaan Buku Paket,
§ Proyek DBL (Dana Bantuan Langsung),
§ BOS (Bantuan Operasional Sekolah), dan
§ BKM (Bantuan Khusus Murid).
Dengan
memperhatikan dari proyek-proyek tersebut, dapatlah kita simpulkan bahwa
pemerintah telah banyak menghabiskan anggaran dana untuk membiayai proyek itu
sebagai upaya meningkatkan mutu pendidikan.
Model dan
Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan di Sekolah
1.
Teori dan model peningkatan mutu pendidikan
Teori merupakan serangkaian konsep,
variabel dan proposisi yang memiliki keterkaitan kausalitas sehingga merupakan
satu kesatuan yang utuh yang dapat menjelaskan suatu fenomena. Model merupakan
terminologi yang seringkali dipergunakan untuk menunjuk teori.
a.
Teori Total Quality Management (TQM)
Teori ini menjelaskan bahwa mutu
sekolah mencakup dan menekankan pada tiga kemampuan, yaitu kemampuan akademik,
kemampuan sosial, dan kemampuan moral. Menurut teori ini, mutu sekolah
ditentukan oleh tiga variabel, yakni kultur sekolah, proses belajar mengajar
dan realitas sekolah. Kultur sekolah merupakan nilai-nilai,
kebiasaan-kebiasaan, upacara-upacara, slogan-slogan, dan berbagai perilaku yang
telah lama terbentuk di sekolah dan diteruskan dari satu angkatan ke angkatan
berikutnya baik secara sadar maupun tidak. Kultur ini diyajini mempengaruhi
perilaku komponen sekolah, yaitu guru, kepala sekolah, staf administrasi,
siswa, dan juga orang tua siswa. Kultur yang kondusif bagi peningkatan mutu
akan mendorong perilaku warga sekolah kea rah peningkatan mutu sekolah,
sebaliknya kultur sekolah yang tidak kondusif akan menghambat upaya menuju
peningkatan mutu sekolah.
Kultur sekolah dipengaruhi dua
variabel, yakni variabel pengaruh eksternal dan realitas sekolah itu sendiri.
Pengaruh eksternal dapat berupa kebijakan pendidikan yang dikeluarkan
pemerintah, perkembangan media massa dan lain sebagainya. Realitas adalah
keadaan dan kondisi factual yang ada di sekolah, baik kondisi fisik seperti
gedung dan fasilitasnya, maupun non fisik seperti; hubungan antar guru yang
tidak harmonis dan peraturan sekolah yang kelewat kaku. Realitas sekolah
mempengaruhi mutu sekolah. Sekolah yang memilki peraturan yang diterima dan
dilaksanakan oleh warga sekolah akan memiliki dampak ats mutu yang berbeda
dengan sekolah yang memliki peraturan tetapi tidak diterima warga sekolah.
Kualitas kurikulum dan proses
belajar mengajar merupakan variabel ketiga yang mempengaruhi mutu sekolah.
Variabel ini merupakan variabel yang paling dekat dan paling menentukan mutu
lulusan. Kualitas kurikulum dan PBM memilki hubungan timbal balik dengan
realitas sekolah. Di samping itu juga dipengaruhi oleh factor internal sekolah.
Faktor internal adalah aspek kelembagaan dari sekolah seperti struktur
organisasi, bagaimana pemilihan kepala sekolah, pengangkatan guru. Faktor
internal ini akan mempengaruhi pandangan dan pengalaman sekolah. Selain itu,
pandangan dan pengalaman sekolah juga akan di pengaruhi oleh factor eksternal.
b.
Teori Organizing Business for Excelency
Teori ini dikembangkan oleh Andrew Tani (2004), yang
menekankan pada keberadaan sistemorganisasi yang mampu merumuskan dengan
jelas visi, misi dan strategi untuk mencapai tujuan yang optimal. Teori ini
menjelaskan bahwa peningkatan mutu sekolah berawal dari dan dimulai dari
dirumuskannya visi sekolah. Dalam rumusan visi ini terkandung mutu sekolah
yang diharapakan di masa mendatang. Visi sebagai gambaran masa depan dapat
dijabarkan dalam wujud yang lebih konkrit dalam bentik misi. Yakni suatu
statatement yang menyatakan apa yang akan dilakukan untuk bias mewujudkan gamabaran
masa depan menjadi realitas. Konsep misi mengandung dua aspek, yaitu aspek
abstrak dan konrit. Misi mengandung aspek abstrak dalam bentuk perlunya
kepemimpinan. Kepemimpinan adalah sesuatu yang tidak tampak. Kepemimpinan
yang hidup di sekolah akan melahirkan kultur sekolah. Bagaimana bentuk dan
sifat kultur sekolah sangat dipengaruhi oleh kepemimpinan di sekolah. Jadi
kepemimpinan dan kultur sekolah merupakan sisi abstrak dari konsep misi.
|
||||
Di satu sisi, misi juga mengandung sesuatu yang bersifat
konkrit yaitu strategi dan program, yang dapat dirumuskan dalam rancangan
tertulis. Strategi dan program dapat diketahui secara umum, biasanya berkaitan
erat dengan infrastruktur sekolah, seperti keberadaan wakasek, wali kelas,
komite, perpustakaan, laboratorium, dan sebagainya yang dibutuhkan. Program
belajar mengajar yang merupakan basis dari mutu sekolah sangat ditentukan oleh
dua variabel di atas yakni kultur sekolah dan infrastrutur yang ada. Kualitas
interaksi antara guru dan sisw sebagai wujud proses belajar mengajar disatu
sisi sangat dipengaruhi oleh ketersediaan sarana dan prasarana sebagai salah
satu wujud infrastruktur sekolah. Dan disisi lain, kualitas interaksi tersebut
sangat ditentukan oleh kultur sekolah. Keduanya memberikan dampak atas proses
belajar mengajar secara simultan, berkesinambungan, tidak bisa direduksi, dan
tidak bias dipilah-pilah.
c.
Model Peningkatan Mutu Faktor Empat
Teori ini menjelaskan bahwa mutu sekolah merupakan hail
dari pengaruh langsung proses belajar mengajar. Seberapa tinggi kualitas proses
belajar akan menunjukkan seberapa tinggi kualitas sekolah. Kualitas sekolah
berawal dari adanya visi sekolah, yang kemudian dijabarkan dalam misi sekolah.
Sebagaimana dijelaskan dalam teori ekselansi organisasi, maka misi mengandung
dua aspek, yaitu aspek abstrak dan konkrit. Misi mengandung nilai-nilai seperti
menjunjung tinggi kejujuran, kerja keras, kebersamaan. Pada tahap berikutnya
nilai-nilai itu akan berpengaruh pada terhadap kultur sekolah. Karena memiliki
nilai-nilai kejujuran maka interkasi antar warga sekolah didasari pada saling
percaya mempercayai, sehingga suasana sekolah enak, harmonis dan nyaman. Karena
memiliki nilai kerja keras, maka kultur sekolah menunjukkan adanya kebiasaan
untuk tidak menunda-nunda pekerjan. Disisi lain juga, misi juga mengandung
aspek konkrit, yakni berupa strategi dan program, yang menuntut keberadaan
infrastruktur. Berbeda dengan teori ekselensi organisasi, pada teori ini baik
aspek abstrak maupun konkrit dari misi berpengruh langsing terhadap
kepemimpinan. Dalam kaitan ini kepemimpinan memiliki dua aspek, yaitu
kepemimpinan dengan kemampuan untuk menggerakkan, menanamkan dan mempengaruhi
aspek abstrak, dan juga aspek manajerial yang merupakan kemampuan konrit dalam
mengorganisir, mengeksekusi, memonitor dan mengontrol. Dua variabel
kepemimpinan dan manajerial inilah yang
akan menentukan kualitas PBM
bersama-sama dengan keberadaan kultur sekolah dan infrastruktur yang
dimilki sekolah. Jadi, pada “Model Empat” ini kualitas proses belajar mengajar
ditentukan oleh kultur sekolah, kepemimpinan, manajerial dan infrastruktur yang
ada.
d.
Peningkatan Mutu Pendidikan melalui Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
MBS di pandang sebgai alternatif dari pola umum pengoperasian sekolah yang
selama ini memusatkan wewenang di kantor pusat dan daerah. MBS adalah strategi
untuk meningkatkan pendidikan dengna mendelegasikan kewenangan pengambilan
keputusan dari pusat dan daerah ke tingkat sekolah. Dengan demikian, MBS pada
dasarnya merupakan system manajemen dimana sekolah merupakan unit pengambilan
keputusan penting tentang penyelenggaraan pendidikan secara mandiri. MBS
memberikan kesempatan pengendalian lebih besar kepada kepala sekolah, guru,
murid dan orang tua atas proses pendidikan di sekolah mereka.
Dalam pendekatan ini, tanggung jawab pegambilan keputusan
tertentu mengenai anggaran, kepegawaian dan kurikulum ditempatkan ditingkat
sekolah dan bukan di tingkat daerah apalagi pusat. Melaui keterlibatan guru,
orang tua dan anggota masyarakat lainnya dalam keputusan-keputusan penting, MBS
dipandang dapat menciptakan lingkungan belajar yang efektif bagi para murid.
Dengan demikian, pada dasrnya MBS adalah upaya memandirikan sekolah dengan
memberdayakannya. Para pendukung MBS berpendapat bahwa prestasi belajar murid
lebih mungkin meningkat jika manajemen pendidikan dipusatkan di sekolah
ketimbang di tingkaat daerah. Para kepala sekolah cenderung lebih peka dan
sangat mengetahui kebutuhan murid dan
sekolahnya ketimbang para birokrat di tingkat pusat dan daeraah. Lebih lanjut
dinyatakan bahwa reformasi pendidikan yang bagus sekalipun tidak akan berhasil
jika para guru yang harus menerapkannya tidak berperan serta dalam
merencanakannya.
Berdasarkan MBS maka tugas-tugas manajemen sekolah
ditetapkan menurut karakteristik dan kebutuhan sekolah itu sendiri. Oleh karena
itu, sekolah mempunyai otonomi dan tanggung jawab yang lebih besar atas
penggunaan sumber daya sekolahguna memecahkan masalah sekolah dan
menyelenggarakan aktivitas pendidikan yang efektif demi pekembangan jangka
panjang sekolah. Model MBS yang diterapkan di Indonesia adalah Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasai Sekolah (MPMBS). Konsep dasar MPMBS adalah adanya
otonomi dan pengambilan keputusan partispatif. Artinya MPMBS memberikan otonomi
yang lebih luas kepada masing-masing sekolah secara individual dalam
menjalankan program seklahnya dan dalam menyelesaikan permasalahan yang
terjadi.
Sebagai suatu sistem, MPMBS memiliki komponen-komponen
yang saling terkait secara sistematis satu sama lain, yaitu contxt, input,
process, output, dan outcome (Depdiknas,2003: 52). Muara dari semua
kegiatan sekolah adalah mutu hasil belajar siswa. Kemajuan suatu sekolah akan
dilihat dari sejauh mana kualitas hasil belajar siswanya. Oleh karena itu,
indikator keberhasilan pelaksanaan MPMBS di sekolah adalah kualitas kinerja
siswa atau kualitas hasil belajar siswa. Hasil belajar siswa dapat bersifat
akademik maupun non-akademik. Dalam hal ini, sekolah harus dapat menunjukkan
sejauh mana kinerja siswa ini meningkat (secara kuntitatif dan kualitatif)
setelah program MPBMS dilakukan. Dalam mengukur keberhasilan kinerja siswa ini,
sekolah hendaknya memiliki indikator-indikator yang jelas, diketahui oleh semua
pihak, dan dapat diukur dengan mudah. Selain terdapat keluaran (output),
sekolah juga harus memiliki kriteria keberhasilan yang jelas terhadap dampak (outcome) program-program sekolah
terhadap sekolah sendiri, lulusannya, dan masyarakat.
Setelah berlangsung sejak 1999, kiranya efektivitas
implementasi MPMBS di sekolah rintisan sudah layak untuk dievaluasi. Evaluasi
efektivitas MPMBS perlu dilakukan terhadap komponen-komponen context, input,
proses, output, dan outcome. Evaluasi ini akan menunjukan tingkat
efektivitas dari masing-masing komponen serta aspek-aspek dari komponen itu.
Berkaitan dengan inilah, penelitian evaluatif efektivitas MPMBS di sekolah
perlu dilakukan.
Tabel 1.
Komponen MPMBS
Komponen MPMBS.
|
Indikator
|
Komponen Kontect
|
1. Kebijakan dalam
bidang pendidikan
2. Kondisi
geografis dan sosial ekonomi masyarakat
3. Tantangan masa
depan bagi lulusan
4. Aspirasi
pendidikan masyarakat sekitar sekolah
5. Daya dukung
masyarakat terhadap program pendidikan
|
Komponen Input
|
1. Kebijakan,
tujuan, dan sasaran mutu.
2. Sumber daya
manusia
3. Sumber daya
lain(dana, peralatan, perlengkapan, bahan)
4. Harapan prestasi
tinggi
5. Fokus pada
pelanggan
6. Manajemen yang
terdiri dari tugas, rencana, program, regenerasi.
|
Komponen Process
|
1. Proses belajar mengajar yang efektif
2. Kepemimpinan sekolah yang kuat
3. Penciptaan lingkungan sekolah yang aman dan
tertib
4. Pengelolaan tenaga pendidikan yang efektif
5. Budaya mutu
6. Kerjasama tim
7. Partisipasi warga sekolah dan masyarakat
8. Keterbukaan
9. Kemauan untuk berubah (inovasi)
10. Evaluasi dan perbaikan
11. Responsiv terhadap kebutuhan
12. Komunikasi yang baik
13. Akuntabilitas
14. Sustainabilitas
|
Komponen Produc:
Output
Outcome.
|
1) Hasil belajar yang bersifat
akademik
2) Imam dan taqwa
3) Masalah dan hambatan yang
dihadapi siswa
4) Siswa yang diterima di PT
5) Popularitas Sekolah
6) Gaji/pengasilan Guru
7) Masa tunggu mencarai
pekerjaan
8) Kesesuaian dengan pasar
kerja
|
1)
Tujuan MBS
Tujuan penerapan MBS adalah untuk memandirikan atau
memberdayakan sekolah melalui kewenangan/otonomi kepada sekolah dan mendorong
sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif. Lebih
rincinya MBS bertujuan untuk:
a)
Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam
mengelola dan memberdayakan sumber daya yan tersedia.
b)
Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggraan
pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama.
c)
Meningkatkan tanggung jawab kepala sekolah kepada orang tua, masyarakat dan
pemerintah tentang mutu sekolahnya.
d)
Meningkatkan kompetensi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang
akan dicapai.
2)
Prinsip dan implementasi MBS
a)
Fokus pada mutu
b)
Bottom up planning dan decision making
c)
Mnajemen yang transparan
d)
Pemberdayaan masyarakat
e)
Peningkatan mutu yang berkelanjutan
D.
Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan di Sekolah
Strategi merupakan
penentuan suatu tujuan jangka panjang dari suatu lembag dan aktivitas yang
harus dilakukan guna mewujudkan tujuan tersebut, disertai alokasi sumber yang
ada sehingga tujuan dapat diwujudkan secara efektif dan efesien. Penentuan
tujuan dan aktivitas yang dilakukan bermula dari kondisi saat ini yang ada dan
kondisi yang akan dicapai masa depan sebagai tujuan. Terdapat tiga perencanaan strategis yang
berkaitan dengan peningkatan mutu sekolah, yaitu strategi yang menekankan pada
hasil (the output oriented strategy),
strategi yang menekankan pada proses (the
process oriented strategy), dan strategi komprehensif (the comprehensive strategy).
Strategi yang menekankan pada hasil
bersifat top down, di mana hasil yang akan dicapai baik kuantitas maupun
kualitas telah ditentukan dari atas, bias dari pemeritah pusat, pemerintah
daerah propinsi, ataupun pemerintah daerah kabupaten/kota. Kasus di Indonesia
saat ini, hasil yang herus dicapai telah dirumuskan dalam Standar Kopetensi
Lulusan dan Standar Kompetensi Dasar. untuk mencapai standar yang telah
ditetapkan pemerintah juga akan menetapkan berbagai standar yang lain , seperti
standar proses, standar pengelolaan, standar fasilitas, dan standar tenaga
pendidik.
Strategi yang menekankan pada hasil
ini akan sangat efektif karena sasarannya jelas dan umum, sehingga apabila
diikuti dengan pedoman, pengendalian dan pengorganisasian yang baik serta
kebijakan yang memberikan dorongan sekaligus ancaman bagi yang menyimpang,
strategi ini akan akan sangat efesien. Namun, dibalik kebaikan tersebut
strategi ini juaga mengandung sisi kelemahan yakni akan terjadi kesenjangan yang
semakin besar antara sekolah yang maju dan sekolah yang terbelakang. Sekolah
yang sudah siap untuk mencapai hasil yang ditentukan akan dengan mudah
mencapainya, sebaliknya sekolah yang tidak siap sulit untuk mencapai hasil yang
ditentukan dan akan muncul upaya-upaya yang tidak sehat atau muncul
keputus-asaan.
Untuk Strategi yang menekankan pada prosesi muncul,
tumbuh berkembang dan digerakkan mulai dari bawah, yakni sekolah sendiri.
Pelaksanaan strategi ini sangat ditentukan oleh inisiatif dan kemampuan dari
sekolah. Karena sekolah memilki peran yang sangat menentukan dan sekaligus
pengambil inisiatif, maka akan muncul semangat dan kekuatan dari sekolah sesuai
kondisi dari masing-masing sekolah. Gerakan untuk memperkuat diri dengan
bekerjasama diantara sekolah akan lahir yang akan diikuti dengan munculnya
berbagai inovasi dan kreasi dari bawah. Namun, strategi ini memiliki kelemahan
yaitu arah dan kualitas sekolah tidak seragam, sehingga sulit untuk melihat dan
meningkatkan kualitas secara nasional.
Layaknya, kalau ada dua pendapat
yang bertolak belakang akan muncul pendapat ke tiga yang merupakan perpaduan
diantaranya. Demikian pula dalam kaitan dengan strategi, muncul strategi
peningkatan mutu sekolah yang ketiga yang merupakan kombinasi dari dua strategi
yang sudah ada. Strategi ini disebit strategi yang komprehensif (the comprehensive strategy).
Strategi ini menggariskan bahwa
hasil yang akan dicapai sekolah ditentukan secara nasional, yang diwujudkan
dalam dalam standar nasional. Untuk mencapainya maka berbagai standar yang
berkaitan dengan hasil juga ditentukan sebagai jaminan hasil akan dicapai. Maka
lahir lah pula standar proses, standar pengelolaansekolah, standar guru, kepala
sekolah dan pengawas, standar keuangan, standar isi kurikulum, serta standar
sarana prasarana. Di balik standar yang telah ditentukan dari atas tersebut,
sekolah memiliki kekuasaan dan otoritas yang besar untuk mengelola sekolah
dalam rangka mencapai standar hasil di atas. Berdasarkan strategi ini
diperkiarakan akan muncul berbagai inovasi kegiatan dari sekolah. Bahkan, tidak
mustahi akan muncul kenekaragaman dalam pengelolaan sekolah. Dengan demikian
kondisi dan kebutuhan lokal terakomodasi dengan strategi komprehensif.
Tujuannya bersifat nasional tetapi cara mencapainya sesuai dengan kondisi
lokal.
Strategi peningktan mutu sekolah
yang ada di Indonesia cenderung pada strategi yang ketiga ini, sebagimana dapat
ditunjukkan dengan adanya berbagai standar nasional yang menjadi acuan sekolah,
namun sekolah diberi kebebasan dalam bentuk kebijakan manajemen berbasis
sekolah dan kurikulum berbasis kompetensi dengan kewenangan sekolah
mengembangkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Setiap strategi
mengandung kegiatan yang harus dilaksanakan untuk mewujudkan tujuan yang telah
ditentukan. Kegiatan ini pada intinya adalah menggerakkan semua komponen
sekolah yang bermuara pada peningkatan kualitas lulusan. Strategi untuk
meningkatkan mutu mencakup membangun kapasitas level birokrat, sekolah dan
kelas.
1.
Membangun kapasitas level birokrat
Membangun kapasitas (capacity
building) adalah sesuatu yang berkaitan dengan penciptaan kesempatan bagi
siapa saja untuk mengambil manfaat dari bekerjasama dalam suatu sistem
kerja yang baru (Harris & Lambert,
2003). Konsep ini menekankan pada kerja sama sebagai prinsip dalam organisasi
untuk mencapai tujuan bersama yang telah ditetapkan. Capacity building yang diperlukan mencakup tiga hal; a) pengembangn
nilai-nilai atau budaya kerja yang menjadi jiwa pelaksanaan kegiatan, b) infrastruktur
yang mejnadi landasan untuk melaksanakan kerja, dan c) pengembangn tenaga
pendidik, khususnya guru, sebagai inti pelaksana kegiatan yang harus
dilaksanakan.
Membangun kapasitas level birokrat
berarti mengembangkan suasana kerja di kalangan staf dan pegawai kantor
pendidikan di segala jenjang, yang menenkankan pada penciptaan kondisi kerja
yang didasarkan pada saling percaya mempercayai untuk dapat melayani sekolah
sebaik mungkin, agar sekolah dapat mengelola proses belajar mengajar (PBM) dan
meningkatkan mutunya masing-masing sesuai dengan kondisi dan situasi yang ada.
Variable yang diperluakan dalam pengembangan kapasitas birokrat kantoran antara
lain visi, skills, incentive, sumber daya, dan program.
Di bidang infrastruktur, pembangunan
kapasitas pada level birokrat kantoran, keberadaan operation room mutlak
diperlukan. Pada operation room aling tidak memiliki peta sekolah dan
kualitasnya, peta guru, jumlah, penyebaran, kesesuaian, dan kualifikasi
pendidikannya dan data yang senantiasa dimutakhirkan dari tahun ke tahun. Disamping itu diperlukan juga suatu system,
mekanisme dan dan prosedur pelatihan,
pemilihan , pengangkatan dan pemberhentian kepala sekolah dan pengawas.
Berdasarkan data dan fakta yang ada pada operation room bias dikembangkan berbagai
scenario peningkatan mutu sekolah, mutu kepala sekolah, mutu guru, di suatu
daerah atau wilayah. Di samping itu, dalam pembangunan kapasitas sekolah pada
level birokrat kantoran perlu dikaji dan
ditentukan scenario bagaimana pemberdayaan guru, pengembangan dan peningkatan
kemampuan guru secara berkesinambungan dilaksanakan. Dalam peningkatan mutu
guru harus ditekankan pada pemberdayaan dan pendinamisian KKG, MGMP, dan MKKS.
Dinamisasi ini ditujukan ubtuk dua hal, yaitu; a0 meningkatkan interaksi akademik
antara guru dan kepala sekolah, b) untuk mengembangkan kemampuan di kalangan
guru melalui refleksi secara sistematis atas apa yang dilakukan dalam proses
belajar mengajar.
Dalam aspek pengembangan tenaga
pendidikan ini pula birokrat kantoran harus mempersiapkan rancangan pengadaan
gueu, baik karena lingkaran proses pensiun sudah mulai muncul maupun perluasan
pelayanan pendidikan yang semakin lebar, sehingga penambahan lembaga pendidikan
baru tidak dapat ditunda lagi. Peningkatan kemapuan profesioanalitas guru yang
harus dimiliki oleh guru ada emapat sasaran, yaitu;
1) kemampuan
melaksanakan PBM secara individual,
2) kemampuan
melaksanakan PBM dan mengembangkan kurikulum secara berkelompok,
3) kemampuan
mengorganisir, memimpin, menjalin, hubungan, dan memecahkan masalah secara
individual dan,
4) kemampuan untuk bekerjasama memajukan
sekolah
2.
Membangun kapasitas level sekolah
Membangun kapasitas berarti membangun kerjasama,
membangun trust, dan membangun kelompok
atau masyarakat sehingga memiliki persepsi yang sama kemana akan menuju dan
dapat bekerjasama untuk mewujudkan tujuan itu. Membangun kapasitas diarahkan pada sekolah sebgai suatu system
dan jug alevel kelas sebagai inti dari sekolah. Secara teoritis dalam membangun
kapasaitas sekolah ada beberapa konsep yang diidentifikasi oleh Hopkins &
Jackson (2002), yaitu; pertama, dalam membangun kapasitas sekolah individu
memegag peranan penting. Individu dalam hal ini bias kepala sekolah, guru
ataupun siswa. Kedua, hubungan dan kaitan kerja diantara individu-individu yang
dirangkum dalam suatu aturan sehingga mereka dapat bekerja sebagai suatu tim
yang solid. Ketiga , terdapat suatu system dan meanisme yang mendorong dan
memfasilitasi terjadinya kesatuan kerja dan jaringan kerja internl yang akan
meningkatkan kemampuan individu dan kauitas kerjasama. Keempat, keberadaan
pemimpin yang mampu mengembangkan nilai-nilai, kultur, trust, keutuhan social,
dan kebersamaan yang tulus. Jadi membangun kapaistas mencakup membangun diri idividu,
kelompok dan organisasi di satu sisi dan membangun kepemimpinan di sisi lain.
Membangun kapasitas level sekolah mencakup; mengembangkan visi dan misi,
mengembangkan kepemimpinan dan manajemen sekolah, mengembangkan kultur sekolah,
mengembangkan a learning school, dan melibatkan orang tua, alumni dna
masyarakat serta memahami tantangan yang dihadapi kepala sekolah.
3.
Membangun kapasitas level kelas
Inti dari mutu pendidikan terletak pada apa yang terjadi
diruang kelas. Meningkatkan mutu sekolah pada intinya berujung pada peningkatan
mutu belajar mengajar di ruang kelas. Oleh karenanya, membangun kapasitas
sekolah harus membangun kapasitas kelas. Kapasitas kelas merupakan proses yang
memungkinkan interaksi akademik antara guru dan siswa, dan antara komponen di
sekolah yang berlangsung secara positif. Interaksi anatar guru dan siswa
merupakan inti dari kegiatan di sekolah.
Interaksi m emiliki dua macam sifat, yakni: sifat positif
dan negatif. Interaksi yang positif akan melahirkan energy yang positif yang
akan mendukung peningkatan mutu. Sebaliknya interaksi begative akan
menghasilkan dampak negatif bagi upaya penigkatan mutu. Dengan demikian, kepala
sekolah harus melakukan rekayasa agar di kelas muncul interaksi guru dan
siswa yang bersifat positif.
Beberapa hal ihwal yang berkaitan erata dengan
pembangunan kapaistas level kelas antara lain; a) memahami hakekat proses
belajar mengajar, b) memahami karakteristik kerja guru, c) mengembangkan
kepemimpinan pembelajaran, d) meningkatkan kemampuan mengelola kelas, e)
tantangan guru.
5. FAKTOR
PENYEBAB RENDAHNYA MUTU PENDIDIKAN DI SEKOLAH
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di
Indonesia pada hakekatnya adalah akumulasi dari penyebab rendahnya mutu
pendidikan di sekolah. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan
kita.. Berikut ini akan dipaparkan pula secara khusus beberapa masalah yang
menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.
1.
Rendahnya
kualitas sarana fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak
sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan
penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara
laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan
sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri,
tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
2.
Rendahnya
kualitas guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat
memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana
disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran,
melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan,
melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di
Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut
kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb:
untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk
SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73%
(swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26%
(swasta).
Walaupun guru dan pengajar bukan
satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran
merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas,
tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang
menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga
dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
3.
Rendahnya
kesejahteraan guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai
peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei
FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya
seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang,
pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460
ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan
pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan
sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari,
menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa
ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
Kesenjangan kesejahteraan guru swasta
dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta,
masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran
Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten
tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU
Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).
4.
Kurangnya
pemerataan kesempatan pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih
terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan
Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan
Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4%
(28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka
Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta
siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas.
Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan
sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan
dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah
ketidakmerataan tersebut.
5.
Rendahnya
relevansi pendidikan dengan kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari
banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak
tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU
sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada
periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing
tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang
Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak
memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan
tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia
kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap
keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
6.
Mahalnya biaya
pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat
ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan
masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari
Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin
tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh
sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp
500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta.
Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau
tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang
seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk
menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat
bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya
Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana
tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’
6. TANTANGAN PENINGKATAN MUTU DI SEKOLAH
Di bawah ini akan diuraikan beberapa
tantangan peningkatan kualitas pendidikan di sekolah secara umum, yaitu:
1.
Efektifitas pendidikan di Indonesia
yang masih rendah
Efektifitas pendidikan di Indonesia sangat rendah.
Setelah praktisi pendidikan melakukan penelitian dan survey ke lapangan, salah
satu penyebabnya adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelm
kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta didik dan
pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan dihasilkan sehingga tidak mempunyai
gambaran yang jelas dalam proses pendidikan.
2. Efisiensi
pengajaran di sekolah yang masih bermasalah
Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari
suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan
jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik
tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika
kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya,
hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati.
Beberapa masalah efisiensi pengajaran di dindonesia
adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan,
mutu pengajar, sistem pendidikan dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang
efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam
peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik.
Konsep efisiensi selalu dikaitkan dengan efektivitas.
Efektivitas merupakan bagian dari konsep efisiensi karena tingkat efektivitas
berkaitan erat dengan pencapaian tujuan relative terhadap harganya. Apabila
dikaitkan dengan dunia pendidikan, maka suatu program pendidikan yang efisien
cenderung ditandai dengan pola penyebaran dan pendayagunaan sumber-sumber
pendidikan yang sudah ditata secara efisien. Program pendidikan yang efisien
adalah program yang mampu menciptakan keseimbangan antara penyediaan dan
kebutuhan akan sumber-sumber pendidikan sehingga upaya pencapaian tujuan tidak
mengalami hambatan.
3. Standardisasi
pendidikan di Indonesia
Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan
kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal terlihat hanya keranjingan
terhadap standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standar dan
kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk badan-badan
baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan
Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).
Peserta didik terkadang hanya memikirkan bagaimana agar
mencapai standar pendidikan saja, bukan bagaimana agar pendidikan yang diambil
efektif dan dapat digunakan. Tidak perduli bagaimana cara agar memperoleh hasil
atau lebih spesifiknya nilai yang diperoleh, yang terpenting adalah memenuhi
nilai di atas standar saja.
Hal seperti di atas sangat disayangkan karena berarti
pendidikan seperti kehilangan makna saja karena terlalu menuntun standar
kompetensi. Hal itu jelas salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
4. Perubahan Sikap dan perilaku birokrasi pendidikan
dari sikap sebagai birokrat menjadi sikap dan perilaku sebagai pelayan
pendidikan yang masih sulit dilaksanakan.
5. Alokasi anggaran yang langsung berkaitan dengan
proses belajar mengajar masih terbatas
6.
Tidak meratanya tenaga guru di
sekolah-sekoalh akibat distribusi tenaga guru di Indonesia yang timpang
7.
Penerapan pola manajemen berbasis sekolah bertentnagan kebijakan pendidikan gratis yang
disalahgunakan oleh kepentingan politik tetrtentu di daereh, sehingga
masyarakat salah memahami prinsip kebijakan pendidikan gratis itu sendiri.
8.
Adanya kesenjangan kualitas pendidikan antara daerah perkotaan dengan daerah
pedesaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar